Gelombang Ultranasionalis

Posted: November 9, 2016 in ASIA, INTERNATIONAL, NATIONALISM, POLITIC
Tags: , , , , ,

Dibesarkan  dan dididik dalam euforia globalisasi, Saya dididik untuk berkompetisi dan meraup manfaat dari kompetisi tersebut. Namun tampaknya dunia sekarang sedikit alergi dengan kompetisi. Terbukti dengan menangnya beberapa faksi ultranasionalis di beberapa negara. Apa hubungannya?

=========================================================

ultranationalism
noun
1.

extreme devotion to or advocacy of the interests of a nation, especially regardless of the effect on any other nations.
nationalism
noun
1. devotion and loyalty to one’s own country; patriotism.
==========================================================
Di sini saya membedakan antara nasionalisme dengan ultranasionalisme. Bangga akan berbangsa adalah nasionalisme, namun ultranasionalis mengesampingkan efek yang ditimbulkan atas nasionalisme tersebut yang dialami bangsa lain/kawasan/dunia.
Mengapa terjadi nasionalisme?
Gelombang nasionalisme muncul di Asia, setelah berakhirnya kolonialisasi oleh Eropa dan Amerika. Identitas berbangsa muncul sebagai perekat negara-negara baru tersebut. Khusus untuk Indonesia, kemerdekaan yang diraih pada 1945 tidak lepas dari bibit yang ditanam pada 1928, ketika para nasionalis muncul dan mempertanyakan identitas bangsa. Titik didihnya adalah proklamasi kemerdekaan yang mampu menyatukan pulau-pulau, suku-suku dan agama yang ada di Indonesia. Bahkan identitas tersebut uniknya direkatkan dalam suatu bahasa nasional, bahasa Indonesia, yang uniknya diambil dari bahasa melayu, bukan bahasa Jawa yang dikuasai mayoritas penduduk Indonesia.
Benang merahnya nasionalisme diperlukan sebagai perekat suatu bangsa, untuk melindungi persatuan bangsa tersebut dari perpecahan.
Lalu apa ultranasionalisme? Ultranasionalisme pada Perang Dunia II
Munculnya ultranasionalisme adalah perasaan berlebihan atas nasionalisme yang merongrong kestabilan kawasan, seperti yang terjadi di Jerman pada Perang Dunia II. Bahwa bangsa aslinya merupakan ras paling dibandingkan ras lain. Pada saat itu Bangsa Yahudi menguasai ekonomi di Jerman, sehingga harus dimusnahkan. Genocida tersebut juga tidak terbatas di Jerman saja, ketika Jerman menginvasi negara tetangga seperti Belanda dan Perancis, Jerman melakukannya.
Di Asia, ultranasionalisme juga pernah terjadi pada Jepang. Yang menganggap bangsanya paling layak memimpin Asia, pada Perang Dunia II, Jepang menginvasi sebagian besar Asia Timur dan Tenggara, dan menjadikannya koloni.
Selepas Perang Dunia II, 2 negara yang menjunjung ultranasionalisme ini kalah telak setelah dunia bersatu dan mengadilinya. Uniknya sampai saat ini, trauma yang dialami Jepang dan Jerman masih terasa. Jepang dan Jerman mengikis ultranasionalismenya dan menganggapnya tabu. Mereka malu atas kejahatan perangnya di masa lalu tersebut.
Globalisasi, Demokrasi dan Neo Ultranasionalisme
Masa damai pasca Perang Dunia II sudah terjadi lebih dari 50 tahun. Kemajuan pesat dunia terasa khususnya di bidang ekonomi. Semua bangsa memiliki kesempatan untuk mengembangkan dominasinya di dalam negeri dan berusaha untuk melakukan ekspansi ekonomi ke luar negeri. Persaingan sempurna tanpa adanya batas negara adalah konsep utopis yang bertujuan meningkatkan kualitas, memperkecil biaya (efisiensi) dan mencapai efektifitas ekonomi. Namun ada kekhawatiran para pihak yang enggan melakukan persaingan, mereka adalah pihak yang phobia akan ditindas secara ekonomi oleh pihak luar. Mereka juga merasa bahwa negara masih memiliki tanggung jawab untuk menghambat arus tenaga kerja ke dalam dan arus modal dan uang ke luar negeri. Di sinilah ultranasionalisme di zaman modern muncul.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, demokrasi juga tumbuh di hampir seluruh dunia. Semua warga negara tanpa kecuali memiliki hak untuk menyatakan pendapat dalam voting/pemilihan perwakilan dan pemerintahan yang kemudian menentukan kebijakan.
Terlihat pada 10 tahun terakhir, pemenang pemilu adalah pemimpin populer yang menjual janji untuk melindungi kepentingan dalam negeri, bukan pemimpin yang mengedepankan globalisasi. Uniknya negara-negara yang kemudian memilih untuk mengambil kebijakan ini adalah negara-negara yang mulanya menggaungkan globalisasi, seperti Amerika Serikat, negara-negara di Eropa. Membuktikan mereka ketakutan akan persaingan yang terjadi dengan bangsa-bangsa yang mulai menunjukkan eksistensinya seperti negara-negara Asia, Amerika Selatan, dan Afrika.
Pada saat tulisan ini dibuat, dunia dikejutkan oleh kemenangan cukup telak Donald Trump yang awalnya tidak diunggulkan dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat. Trump dikenal sosok kontroversial yang anti imigran, anti muslim, dan pendapatnya cukup keras atas kerja sama internasional. Trump bahkan berhasil mengalahkan “veteran” demokrasi, Hillary Clinton, yang sudah 30 tahun lebih berpolitik.
Kemenangan Trump ini adalah bukti empiris bahwa sebagian besar masyarakat Amerika Serikat, tidak menginginkan persaingan sehat dalam koridor globalisasi. Mereka seolah menyatakan diri belum siap dengan persaingan dengan bangsa lain yang dulunya dianggap remeh.
Nasionalisme dan Ultranasionalisme di Indonesia
Pendapat saya, di  Indonesia sendiri nasionalisme belum mengarah pada ultranasionalisme, terbukti Indonesia (saat ini) masih terbuka dengan persaingan global. Meskipun tidak sedikit suara yang menolak akan proses perdagangan bebas tersebut. Penolakan ini dibungkus oleh sentimen rasial anti China, dan uniknya digeneralisir dengan sentimen rasial anti WNI keturunan China. Bagaimana para WNI keturunan China menguasai banyak sektor ekonomi dan “pribumi” dianggap tamu di negeri sendiri. Saya menyatakan ini murni persaingan. Bagaimana seseorang menguasai bidang hanya semata-mata mereka memiliki satu kesamaan suku dengan kita. Justru sebagai masyarakat kita diuntungkan dengan persaingan. Yang paling kompeten yang handle dan selebihnya keuntungan maksimal akan diraih. Mengenai bilamana “pribumi” yang tersisih, seharusnya itu menjadi cambuk agar peningkatan kualitas dilakukan.
Kesimpulan
Saya termasuk nasionalis, yang sangat menjunjung nilai kebangsaan, namun juga anti ultranasionalis yang seolah menganggap bangsa lain adalah ancaman. Dan persaingan  dan kolaborasi adalah cara paling sehat untuk meningkatkan kualitas, bukan dengan mengisolasi diri atas nama melindungi bangsa sendiri.

Leave a comment